Apa masalah terbesar kita? Pendidikan? Kesehatan? Kemiskinan? Korupsi? Pangan? Sandang?
Kalau kita ajukan pertanyaan itu pada seratus orang, kemungkinan besar kita akan mendapatkan seratus jawaban yang berbeda-beda. Tapi menurut Dale Carnegie, masalah terbesar yang mungkin kita hadapi adalah berurusan dengan orang lain.
Boleh saja kita berpendapat bahwa masalah terbesar di Indonesia itu, antara lain korupsi, kesehatan, atau pendidikan. Tapi untuk menyelesaikan masalah tersebut, kita harus berurusan dengan orang lain: Menangkap koruptor, mendidik orang tentang pentingnya pencegahan penyakit, atau mencetak guru.
Berurusan dengan orang lain membutuhkan komunikasi. Ketepatan komunikasi di era sekarang jauh lebih penting dibanding dulu karena kita hidup di masa yang rentan. Ketika pesan yang ambigu atau salah dimengerti bisa menimbulkan bencana.
Risiko yang ditimbulkan pada zaman ini lebih besar karena pilihan media yang begitu banyak. Banyaknya ragam media membuat aktivitas menarik perhatian begitu sulit. Setiap patah kata, setiap isyarat nonverbal, setiap tatapan mata yang hening di zaman sekarang mesti dipelajari dengan saksama, tak seperti sebelumnya.
Itu sebabnya, Carnegie menyebut bahwa masalah terbesar kita adalah berurusan dengan orang lain. Meski pernyataan itu dilontarkan pertama kali pada 1963, rasanya masih relevan sampai hari ini, pada era ketika sebuah pesan bisa sampai dengan instan berkat teknologi digital. Kita mengenalnya dalam bentuk surat elektronik (surel), pesan pendek (sandek/SMS), aplikasi obrolan (messenger apps seperti Whatsapp, Line, atau Kakaotalk).
Bagi sebagian orang, surel, sandek, blog, tweet, status di Facebook atau Path, merupakan cara yang lazim untuk berkomunikasi dengan teman-teman, sahabat, keluarga, kolega, pendeknya orang lain. Di era digital seperti sekarang, memang begitulah adab berinteraksi antarmanusia.
Adab itu diterima oleh mereka yang aktif berinteraksi melalui media digital: internet atau media sosial. Kegiatan interaksi melalui media digital itu mewarnai aktivitas sehari-hari.
Masalahnya, jika hanya mengandalkan media digital untuk berinteraksi, orang-orang itu akan kehilangan salah satu aspek penting dalam hubungan antarmanusia: sinyal nonverbal.
Ambil contoh saat ada kabar buruk menimpa seorang sahabat. Mungkin ketika dia sakit atau ada saudaranya yang meninggal. Sulit bagi kita untuk memperlihatkan rasa empati dan dukungan tanpa memeluk atau menepuk pundak sahabat yang sedang berduka. Memberi “like” terasa masih kurang.
Sinyal nonverbal akan terlihat ketika dua orang atau lebih bertemu secara langsung. Pada saat itulah interaksi antarmanusia terasa lebih lengkap.
Interaksi yang lengkap itulah yang saya dapatkan dari aktivitas #Brikpiknik yang digagas oleh Deddy Avianto atau biasa disapa Om Ded khusus untuk Indosat.
Brikpiknik adalah acara piknik ramai-ramai ke tiga tujuan wisata berbeda: Malang, Yogyakarta, dan Bali. Brikpiknik bukan piknik biasa. Selain bertamasya, para peserta piknik juga membuat konten tulisan, foto, dan video.
Peserta Brikpiknik berasal dari pelbagai latar belakang usia dan profesi: ada jurnalis, ahli hukum, fotografer, penyanyi, videografer, pekerja periklanan, dan sebagainya. Untuk mengetahui lebih rinci mengenai kegiatan ini, silakan kunjungi blog Brikpiknik.
Bagi saya yang menjadi peserta Brikpiknik kelas A tujuan Malang-Bromo, acara ini menjadi semacam bukti bahwa persoalan terbesar kita memang berurusan dengan orang lain, baik yang belum pernah saya temui maupun saya kenal lama. Urusan membuat konten piknik justru jadi nomor sekian. Bukan tugas berat.
Bayangkan, saya menjadi peserta tertua di kelas A. Belum semua anggota piknik lain yang saya kenal. Sebelum berangkat saya sempat berpikir, bagaimana interaksi saya dengan anak-anak yang jauh lebih muda itu. Apakah pembicaraan akan berlangsung mulus mengingat rentang usia yang cukup lebar?
Ternyata kekhawatiran saya tak beralasan. Berbekal senyuman yang selalu menghias wajah, saya gampang masuk di lingkungan baru itu. Sinyal nonverbal saya ditangkap dengan baik oleh teman-teman baru di Brikpiknik. Interaksi berlangsung dengan lancar. Kerja sama memproduksi konten juga bukan persoalan besar. Hanya dengan tepukan di pundak, mata yang berbinar, tawa lebar, semua masalah lebih mudah diselesaikan.
Brikpiknik juga menjadi semacam pembuktian bagi Indosat — operator telekomunikasi yang mendukung acara — bahwa interaksi jarak jauh lewat telepon genggam jadi makin lengkap jika kedua belah pihak, komunikator dan komunikan, bertatap muka. Setidaknya semua peserta Brikpiknik yang juga pengguna Indosat makin mengenal wajah-wajah perwakilan perusahaan yang ikut dalam acara tersebut.
>> Selamat hari Senin, Ki Sanak. Kapan sampean terakhir piknik?
Filed under: Travel Tagged: bali, brikpiknik, Indosat, komunikasi, malang, telco, travel, wisata, yogyakarta